Hey, ingatkah kamu?
Saat dimana aku bahkan tak tau mau menjadi seperti apa aku nanti.Entah apa yang membentukku menjadi seperti itu.
Seseorang yang selalu memandang rendah dirinya sendiri.
Dan bahkan ada kalanya aku membenci diriku sendiri.
Aku yang dulu tak berani memandang jauh kedepan. Menganggap hidup hanya dapat kujalani apa adanya.
Semua serba monoton, yang bahkan tak pernah berharap apakah aku pantas untuk engkau pandang.
Saat itu sepertinya bahkan jika aku salah satu langkah saja, aku akan jatuh lebih dalam dalam kegelapan.
Lalu mungkin aku akan berfikir, jikalau aku bahkan tak pantas kutuliskan disini.
Sampai akhirnya aku bertemu denganmu.
Sejujurnya aku hampir saja putus asa,
Tanpa sapaanmu kala itu. Dimana aku bahkan tak paham dengan lingkungan sekitarku. Suaramu memecah kegelapan dalam hati dan pikiranku. Entah mungkin karena kamu kasihan denganku atau mungkin hanya kebiasaanmu yang begitu hangat dan mencerahkan. Senyum darimu membuatku merasa tak sendirian.
Padahal kita ada waktu yang sama, mungkin waktu itu kita berada dijalan kisah yang bebeda.
Aku dengan segala ketidaktahuanku akan esok. Sedangkan kamu dengan segala keinginan dan mimpi-mimpi yang benar-benar kau kejar. Sudah begitu jelas disini perbedaan kita. Namun bodohnya aku. Yang merasa jika momen itu istimewa dan tak dapat kulupa.
Sejujurnya, setiap kali aku melihatmu, aku ingin menyapamu dan berbicara panjang lebar supaya waktu bersamamu itu tak terlewat begitu saja. Namun didekatmu bahkan suaraku tak dapat kubuat. Apakah kamu mengerti ini? Tapi sudahlah, waktu benar-benar membawa kita pada jalan cerita masing-masing. Kini yang aku tau tentangmu adalah semua pencapaianmu saat ini. Dan sebenarnya membuatku kembali masuk pada pikiran ketidakmungkinanku lagi. Ketidakmungkinan walau hanya sebuah harapan. Maka ku akui bahwa sejak saat itu, waktu dimana kamu menyapa adalah sebuah harapan sekaligus tujuan. Meski hanya itu waktu saat aku merasa begitu dekat, dimana aku dan kamu bisa menjadi kita. Kamu yang selalu mengagumkan, kamu yang selalu begitu cerah, kamu yang penuh dengan keceriaan. Sesungguhnya aku ingin menjadi sepertimu. Itulah mengapa aku bahkan menjadi penuh harap dan tetap mengejarmu walau nyatanya kita memang berbeda. Tapi, aku sangat senang adanya kamu dalam perjalananku. Meski kini kenyataan kembali menyeretku, pada jawaban pertanyaanku yang pertama.
No comments:
Post a Comment