Total Pengunjung

Saturday, January 19, 2019

Karena Berhenti maka Haruskah Berakhir?

Kini kau pun benar benar berhenti.
Berhenti tak lagi ada senyum itu untukku.
Berhenti tak ada lagi sapaan saat berpapasan.
Berhenti untuk sedikit merasa senang dalam sebuah perjalanan sunyi kita masing masing.
Pagi selalu membawa hal baru. Dan sekali lagi aku terlambat.
Terlambat menyadari adanya hadirmu.
Terlambat memahami adanya kamu saat Tuhan telah menuliskan cerita setiap pagi dimulai hari.
Dan sungguh sangat terlambat untuk sedikit memulai obrolan ringan. Yang selama ini hanya berbentuk isyarat pendek dengan senyuman.
Sebentuk senyum yang hangat. Dan memang menghangatkan. Tentangmu dan jalanan lengang maupun ramainya pagi. Hanya dapat aku tuliskan sebagai saat itu.
Kabar tentangmu pun, tak langsung aku ketahui.
Bagaimana harimu adalah bagaimana caraku mencari kisahmu. Hanya dari mereka.
Tentangmu adalah hal hal yang aku lewatkan.
Tentangmu adalah kombinasi dinginnya pagi dengan hangatnya hadirmu yang terlambat aku akui.
Entah aku terlalu takut dengan jalanan yang aku lewati, ataukah rasa itu terlelap dalam buaian ketidak beranian mengubah apapun dalam naskah yang ku perankan.
Entah aku terlalu meratap dengan peran yang aku jalani ataukah drama yang aku mainkan terlalu membuatku terlena.
Kini, yang aku tau.
Kamu benar-benar berhenti.
Menyisakan jalanan yang sepi dibumbui pagi yang dingin. Serta berhiaskan harapan harapan yang kembali layu dan bahkan sejujurnya tak pernah kembali utuh berkembang.
Seperti malam yang ditemani badai.
Karena satu satunya yang tersisa adalah keinginan untuk menggerakkan roda gerigi yang berkarat ini. Agar aku sampai pada epilog yang telah tertulis namamu sebagai akhir dari drama ini.

No comments:

Post a Comment