Total Pengunjung

Tuesday, March 23, 2021

Bait Terakhir adalah Namamu

 Aku tak pernah takut. Jika tulisan tulisanku hanya akan berakhir sebagai fiksi.


Aku tak pernah takut. Jika kata demi kata yang ku susun hanya akan berserakan diantah berantah.

Aku tak pernah takut. Jika kalimat kalimatku dicap monoton oleh mereka yang tak sengaja membaca.

Yang aku takutkan hanyalah. Saat dimana jarak dan kejauhan kita mulai mendatangkan kabut.
Rintik gerimis yang masih terus menghubungkan kita. Mulai menghilang.
Tunas harapan yang mati matian dipertahankan mulai layu.
Embun yang selalu dinanti untuk sekedar mengabarkan perasaan itu masih tetap ada.
Bahkan tak cukup lagi membasahi gersangnya jarak diantara kita.

Ditempat ini dibagian sudut dunia dimana aku hanya bisa terbaring sendiri. Menikmati sunyi
Dalam bagian waktu yang disebut sebagai malam.
Waktu dimana mereka mengistirahatkan segala kepenatan. Nyatanya pikiranku membawaku pada hal-hal paling getir yang pernah dibayangkan.
Tentangmu yang makin menjauh.
Tentangmu yang makin membuat rapuh.
Tentangmu yang makin membawa pilu.
Bahwa dengan tegas kulihat diriku sendiri. Dan rintik gerimis terakhir hari ini darimu menyadarkanku.
Bahwa pantaskah aku untukmu.

Tentangku hanya kisah-kisah kegagalan.
Mimpi-mimpiku hanya angan tak bertuan.
Rencana-rencanaku hanya gurauan yang ditertawakan.
Pilihan-pilihanku hanya makin membuatku tersesat.
Dan sekali lagi. Apakah benar-benar kamu telah melihatku. Apa adanya.
Disini pikiranku makin tak berarah
Ketakutan-ketakutanku seperti datang menghadang.
Mereka memberikan gambaran-gambaran tentang bagaimana kamu. Yang begitu luar biasa dan selalu dipuja-puja, dinanti dan selalu dilukiskan begitu indah.
Lantas pikiran terbodohku datang melihat semua keburukanku. Dan menjelaskan.
Jika aku yang bukan siapa-siapa.
Jika aku yang hanya kau sebut dia, yang dihilangkan dari kumpulannya. Yang terbuang dari pilihan yang tak pernah dipilih. Yang terkubur dalam palung terdalam dan dilupakan sejarah.
Lalu mereka berbisik lirih.
"Sudah waktunya sadar diri".

Aku tertunduk. Membayangkan nanti bagaimana tidak bahagianya kamu jika bersamaku.
Yang hanya bisa bertahan dalam kesederhanaan yang paling sederhana.
Yang hanya bisa memiliki hal-hal remeh dan tak semewah mereka.
Maka haruskah aku pergi. Menghilang bersama kabut yang datang ini.
Membiarkan waktu memberimu isyarat untuk melupakanku.
Membiarkan waktu benar-benar menghapus tentangku darimu.
Meski disini aku tak bisa berjanji, apakah aku akan benar-benar lupa. Tentangmu.

Rembulan,
Ijinkan aku selalu menunggumu pulang di.
Zamrud khatulistiwa.
Untuk bukti bahwa aku tak pernah lelah menyimpan harapan bersamamu.
Karena aku adalah bagian dari tanah airku.
Indonesia, sebuah tempat dimana kamu akan kembali.

Thursday, March 11, 2021

Tak Bisa Saling Bersatu?

 Mungkin puisi puisiku selama ini telah salah.

Mencoba manggambarkanmu terlalu klise.
Yang hanya itu-itu saja. Dan dibumbui harapan entah angan untuk bersamamu.
Namun sebenarnya hati kecilku berkata.
Apakah dengan cara ini kamu akan melihatku?
Apakah dengan begini aku akan benar-benar meluluhkanmu?
Terus bersembunyi dalam angan dan imajinasiku sendiri.
Terus menulis tentangmu bahkan nyatanya tak pernah benar benar bersamamu.
Aku seperti membohongi diriku sendiri.
Dengan harapan. Kamu akan memperhatikanku.
Naif memang.
Tapi beginilah dunia bekerja. Lebih selektif. Lebih mementingkan apa yang bisa dilihat olehmu sendiri dan mereka.
Pernah tidak kamu meski hanya sejenak berfikir apa yang membuatmu mau memilih yang tak kamu suka.
Hanya karena dia selalu ada disana dengan lantang. Selalu tegar menetap di satu tempat?
Entah saat kau butuh ataupun saat kau acuh?
Tak pernah sekalipun menyembunyikan dirinya dengan pembenaran sendiri.
Bahwa dengan begini dia selalu tegar menerima acuhnya kamu. Judesnya kamu. Galaknya kamu. Atau bahkan sikap tak pedulinya kamu padanya. Dia tetap disana. Sepahit apapun kenyataan tentangmu. Setidaknya dia selalu disana. Menunggumu dengan tanpa pamrih. Tanpa syarat. Dan tanpa membohongi dirinya sendiri dengan menciptakan sosok kamu yang sempurna dalam bayangannya sendiri.
Lihat. Nyatanya dia masih saja tegar menerima apa adanya kamu. Dan masih menanti kamu untuk kembali mengingatnya.
Dia berani mencoba. Dan tak sedetikpun melewatkan kesempatan untuk mendapatkan sedikit perhatianmu. Lagi dan lagi.
Tapi bagaimana denganku.
Sekarangpun masih saja menciptakan sosokmu.
Menggambarkan senyum milikmu. Tawa renyah darimu. Dan gambaran ideal bagaimana kamu saat itu.
Yang ternyata masih saja entah apakah kamu benar benar melihatku. Entah dulu. Entah nanti.
Karena sekarang. Mungkin kamu bahkan tak terfikir  tentangku.
Yang memang tak bisa lagi kusembunyikan. Tentang rasa dan rinduku padamu.
Hanya saja pilihanmu mungkin bukan aku.
Seorang sosok yang lemah, tak berguna, lalu mungkin bahkan tak dikenal oleh dunia.
Dan sekarang angan maupun imajinasi telah menghianatiku. Menjatuhkanku dengan pertanyaan paling getir dan pahit.
Siapa juga yang mau mengajak bicara orang seperti aku. Kata mereka dengan jumawa.
Kini bersama malam. Aku berharap.
Sunyi ini tak berujung.
Supaya sosok aku tidak lagi mencipta.
Kalimat pilu dan sendu hanya karena kenyataan dan angan tak saling bisa bersatu.



Kamu

 Aku pernah terlarut pada bait baitku sendiri.

Membayangkan tentangmu yang tak ada habis-habisnya dalam angan.
Mengagumimu menuliskannya lagi dan lagi dalam kumpulan sajak-sajak merindu.
Meski dihadapanku hanya ruang kosong berwarna monoton atau birunya langit yang cerah tanpa segumpal awan atau bahkan belantara tak tertembus sinar mentari sekalipun.
Bayangmu tergambar jelas.
Tentang seuntai senyum.
Tentang seikat tawa.
Dan tentang sekumpulan tingkahmu yang tak pernah membuatku bosan.
Selalu membawaku pada harapan-harapan. Untuk bersamamu.
Sembari menuliskan kisah kita hari ini dan esok hari.



Monday, March 8, 2021

Since 2010

 Jika bait ini dapat membuatmu tersenyum.

Kubuatkan seribu bait untuk membuatmu bahagia.

Jika goresan tintaku pada langit masih belum dapat mengungkapkan perasaanku padamu.
Biarlah samudra mengering untuk menuliskannya pada alam jagad raya ini.

Jika kegelapan dalam diriku telah membuatmu bersedih.
Izinkan aku menghilang dengan dengan terangnya matahari yang kau pilih.

Dan jika ungkapan hatiku telah membuatmu bersedih. Lagi.
Akan tetap kuberikan segenap perasaan ini padamu, lalu biarkan saja aku memandang bayangmu dari kejauhan.

-bait yang mungkin telah tertulis sejak 2010, hampir terlupa, dan ditemukan untuk kembali dibaca.

05032021


Friday, March 5, 2021

His Morning

 Pagi ini aku rindu.

Bersama terbitnya mentari kuharap kaupun melihat ketempat yang sama.
Bersama kicau riang suasana pagi kuharap kaupun mendengar suara yang sama.
Bersama hembusan angin yang dingin kuharap kaupun merasakan hal yang sama.

Awan bergerak lirih.
Matahari berjalan pelan.
Angin tak begitu ketara pergerakannya.
Namun rindu ini bergerak seirama dengan ingatan tentangmu.

Embun masih saja enggan pergi.
Seakan menyelimuti dedaunan daripekatnya malam tadi.
Seperti perasaan rindu ini yang tak ingin segera pergi.
Bahwa tentangmu adalah bagian dari inspirasi yang hinggap dan tak terprediksi.

Maka sekali lagi kusampaikan padamu.
Kalimat-kalimat tentangmu yang masih saja membawaku.
Pada rasa pilu.
Pada rasa getir.
Dan pada rasa syahdu.
Karena kamu adalah rindu-rinduku yang entah akan kau balas. Atau akan kau acuhkan. Lagi.