Kami tinggal disebuah titik dibumi. Disudut antah berantah dari sebuah tempat yang disebut "kaya" oleh pemimpinnya.
Mereka bangga karena tanpa pendingin ruangan tetap bisa dibilang dingin.Kami memiliki pemimpin dari tingkat kota sampai tingkat RT. Hanya peduli dengan perut dan kerabat sendiri.
Jalan yang kami lalui sudah tak layak disebut jalan raya.
Lebih mirip danau dari pada sebuah jalan.
Setahun dua tahun. Bahkan sampai berpuluh tahun jalanan itu tetap diam.
Remuk dimakan waktu.
Hancur bercampur debu.
Tergenang. Bukan terkenang. Karena hujan.
Miris tiap kali kami melintas.
Kemana sebenarnya pajak yang kami bayarkan tiap tahun.
Mana yang disebut kaya!
Mana yang disebut makmur!
Kalian hanya melihat diproperti kalian sendiri!
Memoles lumbung kalian masing masing. Tanpa peduli kami yang disini menanti.
Namun semuanya berbalik ditempat kami.
Berbulan-bulan pandemi mulai mencekik.
Yang "kaya" mau dianggap miskin!!
Yang benar-benar miskin hanya bisa diam dan berbisik "Tuhan Maha Welas".
Karena takut status sosial mereka ditempat kami adalah yang tak digunakan saran dan suaranya.
Pilu memang.
Namun sekali lagi. Pemimpin kami bilang daerah ini adalah "kaya".
Bahkan untuk sekedar memberi saja mereka lebih memilih kerabat dekat mereka masing-masing.
Masihkah ini jaman Nepotisme?
Masihkah ini jaman kerajaan?
Sudahlah sudah..!!
Mungkin benar diantara kami ada yang berteriak lantang bahwa disini bukan pemimpin yang disibukkan oleh rakyatnya, namun rakyat yang disibukkan oleh tingkah polah pemimpinnya.
Lihat saja. "Pembagian" ditempat kami.
Yang "mendapat" hanya mereka yang dekat dengan pemerintahan.
Lantas bagaimana dengan yang jauh?
Mereka lupa kan..
Namun ada pemandangan yang kontras jika memerlukan "tenaga" cuma-cuma.
Yang dekat bahkan tak pernah mendekat.
Justru yang jauh dan tersisihkan dibuat pasal tegas hukuman atau denda.
Ini kah keadilan wahai para pemimpin?
No comments:
Post a Comment